Home / OPINI

Selasa, 24 Januari 2023 - 07:04 WIB

Tradisi Sigajang laleng lipa Bugis-Makassar ; Budaya perang sarung untuk menyelesaikan Masalah

Mohammad Aras Al Rasyid, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Mohammad Aras Al Rasyid, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Biasanya Ketika kita menyelesaikan masalah dengan sesorang biasanya kita lebih cenderung memilih untuk berdialog dan membicarakan masalah kita. Namun akan tetapi di daerah Sulawesi khususnya Suku Bugis-Makassar apabila suatu masalah tidak dengan berbagai cara maka diadakannya sigajang laleng lipa. Tradisi Sigajang Laleng Lipa merupakan salah satu budaya yang ada di Sulawesi selatan, Tradisi ini termaksud dibilang ekstrem dikarenakan tradisi ini saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung, tentu saja taruhannya nyawa. Sebenarnya di dalam tradisi ini adalah tradisi dari orang adat bugis untuk apabila terjadi suatu permasalahan tidak menemui titik terang, sehingga digunakan perang dalam sarung untuk menyelesaikan permasalahan.

Ritual ini biasanya digunakan sebagai Langkah terakhir untuk menyelesaikan antara dua orang bertikai, Entah apa saja pertikaiannya. Bisa saja soal permasalahan keluarga, perkara perkawinan, Ritual saling tikam dengan badik sebagai senjata tradisional khas dari orang bugis. Di Dalam Tradisi dari daerah saya Sigajang Laleng lipa ini sangat menarik. Yang dimana mereka memiliki kesempatan menyaksikan, dan juga mendapatkan pengalaman yang takkan didapat ditempat lain di pelosok bumi Nusantara. Sigajang Laleng Lipa sendiri memiliki arti mendalam bagi masyarakat Bugis. Ia adalah opsi terakhir mempertahankan harga diri (siri’) karena masalah yang sudah dimusyawarahkan mengalami jalan buntu.

Awal mulanya terjadinya Tradisi ini apabila Kedua Belah Pihak keluarga akan melakukan sebuah perjanjian berupa materai atau biasanya dibicarakan sama ketua adat dan kemudian ditentukan harinya akan terjadinya perang sarung dari kedua belah pihak. Mula-mula kedua pihak yang berseteru akan saling berhadapan di dalam sarung. Keduanya harus mampu menjaga keseimbangan dan mengadu kekuatan hingga ada yang kalah. Kekalahan ini bisa karena salah satunya keluar dari sarung yaitu menyerah atau mati.  Namun untuk dijaman sekarang sudah banyak masyarakat bugis-makassar mulai meninggalkan tradisi ini dikarenakan terlalu ekstream, Menurut sudut pandang penulis tradisi ini harus tetap dipertahankan dikarenakan tradisi ini kita dapat pelajaran jadi anak lelaki harus  berani bertanggung jawab, tidak lari dari masalah, mempertahankan harga diri. Untuk kita hidup di zaman modern ini.

Tradisi budaya ini harus tetap ada tanpa harus melukai atau menghilangkan nyawa. Yaitu dengan cara penjamuan untuk pejabat, seperti presiden, Gubernur, dll. tradisi juga bisa untuk dijadikan pertontonan untuk guna menghasilkan uang kemudian secara tidak langsung tradisi ini terkenal. Yang dimana tradisi peninggalan dari Sulawesi selatan Suku Bugis-Makassar tidak boleh ditinggalkan, melainkan dijadikan pentas dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestariaan budaya. Pementasan dimaksud dimulai seperti Pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari obor.  Karena menurut kepercayaan orang bugis, Tradisi ini memiliki makna tersendiri, yang mana sarung diartikan sebagai symbol persatuan dan kebersamaan masyarakat bugis, Jadi Sehingga berada di dalam sarung berarti menunjukkan diri dalam satu tempat atau sebuah perikatan dalam menyatukan maksudnya ikatan kebersamaan antar manusia.

 

Penulis Merupakan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Share :